Sabtu, 04 Juli 2009

Hak dan Perdagangan Air


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas makalah Sistem Informasi Manajemen berjudul Hak dan Perdagangan Air.
Dengan adanya penulisan makalah Ekonomi Islam ini, penulis mengharapkan memperoleh tambahan wawasan dan pengetahuan lapangan.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak H. Ahmad Djalaluddin, Lc., Mag. selaku dosen pengajar mata kuliah Ekonomi Islam II.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT, sebagai manusia hanya berusaha mengupayakan kesempurnaan dalam penulisan makalah ini, meskipun banyak kekurangan, untuk itu saran serta kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.



Malang, 22 Juni 2009


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengacu pada Konferensi Kesatuan Negara pada tahun 1992 tentang lingkungan dan pembangunan yang dilaksanakan di Rio De Janeiro, dan Konferensi Internasional tentang air dan lingkungan yang diselenggarakan di Dublin pada tahun yang sama, menyatakan bahwa pada saat ini negara berkembang menghadapi dua masalah serius yakni pada persediaan air dan sektor lingkungan. Tantangan pertama merupakan agenda lama yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (Bronsro 1998). Meskipun kemajuan signifikan telah diciptakan, masih menyisakan banyak hal yang harus segera diselesaikan.
Sejak tahun 1980-an, jumlah penduduk dengan persediaan air yang tidak aman menurun dari angka 1.8 milyar menjadei 1.2 milyar, sementara jumlah orang dengan dengan sanitasi yang tidak aman masih tetap pada kisaran 1.7 milyar. Meskipun berada pada kesuksesan relatif, menurunnya persediaan air yang cukup dan saluran limbah yang kering akibat pembangunan manusia (Serage El-Din 1004).
Tantangan kedua yang dihadapi adalah agenda baru tentang pembangunan berkelanjutan. Tantangan ini termasuk kebutuhan jangka panjang, efisiensi, dan penyeimbangan persediaan air.
Krisis air di timur tengah menggambarkan tentang volume, penggunaan perangkat manajemen kebutuhan air yang diantaranya harga, peraturan, teknologi, dan pendidikan. Meskipun perangkat ini memiliki poptensi untuk memenuhi kepuasan terhadap air keluar krisis dengan menerapkan langkah yang simultan dan peningkatan layanan. Realisasi dari keuntungan ini belum dapat dimaksimalkan sebab sejarah manajemen permintaan pada negara berkembang masih pendek.
Harga air melalui tarif pengunaannya merupkan hal yang paling kontroversial sebagai perangkat manajemen permintaan. Hal ini memerlukan instrumen pasar yang lebih baik untuk menopang promosi, meningkatkan nilai, menyediakan harga yang sesuai, khususnya untuk golongan ekonomi lemah. Implementasi harga air sebagai salah satu perangkat maanjemen permintaan air tidak hanya ememrlukan pemahaman pada spektrum persoalan urban, akan tetapi juga lembaga yang meyakinkan tarif uang dapat dirubah dan menghendaki sistem tersebut akan dihapus.
Islam memliki peranan penting pada setiap aspek kehidupan di Timur Tengah, mulai dari aturan utama tentang perilaku sosial dasar, hingga pada banyak solusi persoalan maanjemen air yang merupakan sebuah realitas di sebagian daerah. Tahapan ini adalah tentang hak, harga air, serta garis besar manajemen air perspektif Islam di timur Tengah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori ekonomi, perdagangan air, dan distorsi harga?
2. Bagaimana konsep harga air dalam islam?
3. Bagaimana meimplementasikan manajemen permintaan air malalui harga?
4. Apa peranan dari insentif pasar?
5. Bagaimana menyelenggarakan fokus kelembagaan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui teori ekonomi, perdagangan air, dan distorsi harga
2. Untuk mengetahui konsep harga air dalam islam
3. Untuk mengetahui implementasi manajemen permintaan air malalui harga
4. Untuk mengetahui peranan dari insentif pasar
5. Untuk mengetahui penyelenggarakan fokus kelembagaan



BAB III
PEMBAHASAN

A. Teori Ekonomi, Perdagangan Air, dan Distorsi Harga
Terbatasnya persediaan air dari persediaan sumber alirannya merupakan pemicu munculnya perkembangan masalah baru, jarak mata air yang semakin jauh, dan sumber mata air yang lebih mahal (Bak Dunia 1993). Secara tipikal, biaya marjinal untuk untuk membuka mata air yang baru relatif mahal : diantaranya, sumber mata air yang baru di Algeria dan Mesir akan berharga dua sampai tiga kali dari sumber yang telah tersedia (Bank Dunia 1992).
Teori ekonomi mengindikasikan bahwa air haruslah memiliki harga pada biaya marjinal dari persediaan tambahan gaji lanjutan terhadap sumber air. Bagaimanapun, secara historis air telah memiliki nilai yang sangat rendah bahkan gratis. Kemanyakan, tarif air diatur tidak untuk menutk menutp biaya marjinal, akan tetapi pada biaya keuangan rata-rata bahkan kurang dari nilai ini. Perbedaan secara esensi ada pada harga perolehan biaya yang menggambarkan masa lalu, dimana harga biaay marjinal menggambarkan harga pada masa yang akan datang. Harga biaya rata-rata untuk itu dapat mendorong penggunaan yang berlebih. Selanjutnya, pada banyak tempat, struktur rata-rata tetap dan struktur rata-rata blok menurun tetap digunakan, dan penawaran ini tidak insentif untuk melindungi air (Bronso 1998). Bronso (1998) menyatakan asumsi yang positif pada persediaan air dunia yang harus diperhatikan dan ahrus bergerak pada arah harga ekonomis, yang akan melibatkan peningkatan tarif substasial pada tekanan air di kota.
Sebuah alasan yang mendukung adalah bahwa air merupakan sumber ekonomi yang jarang. Seperti haga air haruslah tidak hanya mengandung biaya langsung yang meliputi transportasi komoditasini akan tetapi juga melibatkan biaya eksternal dari degradasi lingkungan, juga kesempatan biaya penggunaan yang diabaikan. Pada banyak kasus, perhitungan biaya lingkungan merupakan hal yang paling kontroversial saat ini, hal ini dikerenakan keuntungan dari system air, seperti habitat dari ikan, hewan, dan tumbuhan; moderasi iklim, serta nilai estetis merupakan hal yang tidak diperdagangkan dalam pasar (Bronsro 1998). Harga diperuntukkan untuk penggunaan air tidak melibatkan hal ini.
Pada konteks modern, manajemen yang efektif mengendalikan koleksi, perawatan, dan distribusi air, seperti perawatan sumber dan infrastruktur air. Kemudian memunculkan biaya yang hanya dapat ditutup dengan menggunakan harga. Perhutungan harga lebih mudah dari pada mengumpulkan tarif. Kekuatan sosio politk dapat menekan kenaikan tarif untuk komoditas esensial seperti air. Jika hal ini memiliki pengaruh keuntungan yang sedikit dari adanya subsidi air dari pengeluaran yang utama, maak subisidi dapat dibatalkan. Jika harga ini dirubah, maka pasar akan semakin tidak kompetitif, akan terdapat perdagangan swasta pada barang umum, atau seperti dikatakan oleh para pakar ekonomi pasar telah "gagal" (panayotou 1993). Jadi di Jakarta secara kasar teradapat 20 persen dari delapan puluh juta penduduknya telan menerima air melalui pipa yang berasal dari sumber air. Sisa dari air ini tergantung dari penjulan air dari berbagai macam vendor. Air yang terdapat di sini tidak mahal, akan tetapi telah terkontaminasi dan tidak aman. Penggunaan air ini secara berlebihan dapat membahayakan kesehatan masyarakat, menipisnya cadangan air, dan menurunnya lempengan tanah (Bronso 1998). Crane (1994) malaporkan ada beberapa orang yang tidak memliki akses air pipa di Jakarta membayar enam sampai empat lipat dari mereka yang menggunakannya. Beberapa variasi harga menurut Bahl dan Linn (1992) memiliki ciri: harga vendor terhitung untuk air relatif untuk tarif di kota di beberapa negara – di Burkina berada pada angka yang mengejutkan tiga sampai lima kali lipat ketinggiannya, di Ghana tiga belas sampai dua puluh lima kali, di Kenya (Nairobi) tujuh sampai sepuluh kali, dan di Uganda (Kampula) empat sampai sepuluh kali. Tidak mengejutkan, di Jakarta yang memiliki pembayaran penjualan yang lebih tinggi pada daerah yang berada pada wilayah jarang air dibandingkan dengan wilayah yang memiliki banya persediaan air – perbandingannya adalah empat belas liter pada daerah yang memiliki kekurangan air dibandingkan enam belas liter pada daerah yang memiliki kecukupan air. Harga konsumen yang lebih tinggi pada umumnya terbatas oleh kekurangan penjualan air mereka untuk kebutuhan minum da, memasak, serta penggunaan air baik yang lain untuk kebutuhan lainnya.
Meskipun keuntungan meerupakan hal yang kurang begitu diutamakan, seperti pada sebuah struktur pasar yang menciptakan masalah nyata pada lingkungan, kegunaan air, dan rata-rata konsumen. Vendor pemasangan pipa menjual air dari sistem kota untuk dijual kembali ke pangsa pasar yang lebih besar. Prosose masuknya vendor ini pada pasar terkontrol, dimana harga secara efektif tidak diberlakukan. Selanjutnya, hal ini berakibat pada tingginya harga dan vendor mempraktikkan penyewaan monopoli. Sebagaimana telah terindikasi sebelumnya, Islam telah melarang praktik jual beli seperti ini, yang hanya mengedepankan keuntungan pribadi di atas penderitaan masyrakat banyak dan dapat menekan terjadinya perubahan harga. Jelas, akses air pada bawah tanah aakn tidak terkontrol, dan hal ini akan menyebabkan penggunaan yang berlebihan. Banyak orang miskin yang tengah menghadapi pilihan antara harga air yang tinggi dan kekurangan air. Secara teori mereka sebaiknya memiliki hubungan dengan dengan beberapa rumah, sebab rata-rata konsumen vendor dapat meningkatkan konsumsi air mereka, sementara pengurangan tagihan mereka masih berkurang. Bagaimana[un banyak hal yang tercegah dari koneksi sistem kota dengan mengabaikan pilihan persediaan air, seperti dengan menawarkan kredit yang mendesak, hambatan birokrasi, dan korupsi resmi (Lovei dan Whittington 1993, Crane 1994). Problem seklanjutnya pada persediaan kota adalah proporsi dari air yang semakin berkurang dan penjarahan yang mencapai 50 persen (Bhattia dan Falken mark 1993)

B. Harga Air dalam Islam
Sebelum membahas hak dan harga air berdasarkan perpektif Islam, konsep kesejahteraan kepemilikan menurut jurisprudensi Islam harga terlebih dahulu dipahami. Properti dalam Islam merupakan fungsi sosial, dalam hal ini, kesejahteraan merupakan milik Allah dan insan sederhana yang berasumsi pada posisi manajerial untuk meningkatkan kesejahteraan dan menggunakaan hal ini sesuai dengan kebutuhannya. “Kesejahteraan” dunia (“ma-li” dalam bahasa arab) tidak signifikan dalam kepemilikannya; hal ini hanya merupakan bentuk hubungan. Maksud dari hal ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an: “Baiklan, siapa yang percaya, pemurah kami telah menyediakan untuk kamu”1 di dalam Al-Quran telah dijelaskan “Tentu saja, kesejahteraan yang terlimpahkan pada kalian adalah milik Allah yangn telah diciptakanNya. Dia telah menunjukkan kalian sejenis bunga dan mengizinkan kalian untuk menikamatinya.”
Bagaimanapun hal ini harus dipahami bahwa Islam melarang praktik ekonomi insentif dengan “eksternal” properti. Hal ini pada dasarnya mempertimbangkan insetif swasta dengan optimalitas sosial. Konsep ekonomi dalam Islam berdasarkan pada upah: seseorang harus mendapatkan upah dari kerjanya dan kerja harus dihargai. Nabi Muhammad SAW bersabda: jika seseorang menghidupkan lahan mati, maka menjadi meliknya...”2 Insentif pasar harus dapat mengendalikan ekonomi dan pemerintah tidak seharusnya menginterfensi pasar kecuali untuk menghidarkan kompetisi yang tidak adil, dan untuk menghidarkan praktik haram. Sarjana Muslim menyetujui bahwa Islam tidak mengijinkan pemerintah untuk menentukan harga barang, termasuk air – pasarlah yang secara sendirinya menentukan harga itu sendiri. Telah dilaporkan bahwa jika seseorang mengadu pada Rasul mengenai tingginya harga dan meminta kepada beliau untuk menyesuaikan harga itu, beliau menolak untuk melakukannya dan mengatakan bahwa “Allahlah yang telah menentukan harga, Yang menyembunyikan, memberikan kemewahan dan persediaan, dan aku berharap ketika aku bertemu dengan Allah tidak ada satu pun di antara kamu yang mengadukan aku atas ketidakadilan atas darah dan properti.”3 hal ini mengindikasikan bahwa hukum Islam, tetapa berada pada tataran harga dasar yang tidak dapat ditetapkan. Seperti yang akan di bahas selanjutnya, bagaimanapun, pengecualian pada hukum ini.
Keuntungan dari pemisahan antara kepemilikan kesejahteraan fundamental Tuhan dan kepemilikan “manajerial” manusia terdiri atas dua hal: pertama, satu pihak memiliki hak yang tidak yang tidak hanya menguntungkan individu. Islam menerapkan peraturan tentang moral kpribadian untuk mengakkan keadilan sosial dan memerangi korupsi, kemudian merancang sistem hukum untuk menegakkan kode etik.
Prinsip dasar dalam trasaksi hubungan dengan sumber kesejahteraan umum dalam Islam adalah melawan distribusi yang tidak aman. Untuk itu mungkin tidak membuat sebuah sirkuit antara kesejahteraan di antara kalian.4 jadi, jurisprudensi Islam bertujuan untuk menyeimbangkan arah kerja dan keuntungan publik dalam mengatur sumber air. Telah dikabarkan bahwa rasulullah SAW bersabda, “Muslim berserikat atas tiga hal: rumput, air, dan api. 5 Rasul melarang penjualan air. Amrou bin Dinar mengatakan, “kami tidak tahu yang dimkaksud air yang mengalir secara alami (seperti danau dan sungai) atau transportasi air (dengan nilai tambah). Bagaimanapun, kebanyakan mahasiswa Muslim (zouhaili 1992) menyetujui bahwa air dapat dijual dalam bentuk komoditas lain. Rasul bersabda: “Dialah yang menjual Ruma yang baik dan menawarkan air untuk orang Muslim dengan gratis akan mendapatkan ganti surga. Ucapan ini mengindikasikan abhwa ruma yang baik dapat diperdagangkan,, demikian juga airnya. Beliau juga bersabda: “Sebaiknya diantara kalian membawa kapak untuk memotong kayu (dari hutan), membawanya dengan punggungnya, dan menjualnya (yang menghasilkan pendapatan untuk penghidupannya) dari pada dia harus meminta-minta kepada orang yang kadangkala diberi dan kadangkala ditolak.”7 Jadi sarjana Muslim menyimpulkan, bahwa air seperti kayu dan komoditas umum lain, dapat diperjual belikan (Zouhaili 1992).
Lebih spesifik, sarjana Muslim membagi sumber air yang diperdagangkan dalam tiga kategori (sabeq 1981; Zouhaili 1992): Barang pribadi, barang umum tertentu, dan barang umum.
Air yang disimpan di dalam kontainer pribadi, sistem distribusi pribadi, dan kolam merupakan barang pibadi. Dalam hal ini termasuk air yang dialirkan dari sumber dan sungai dengan menggunakan peralatan atau dialirkan melalui perusahaan yang mendistribusiakan air. Air ini merupakan milik pribadi dan tidak dapat digunakan kecuali dengan seizin pemiliknya. Pemilik berhak untuk menggunakannya, menjualnya, atau mendonasikannya. Meskipun air ini dianggap sebagai milik pribadi, seseorang yang membutuhkan air dapat dapat menggunakannya dengan seizi dari pemiliknya. Diharapkan, air yang terawat dapat diperdagangkan sebab oraganisasi bertanggungjawab terhadap perawatan air dengan mengalokasikan dana dan menginvestasikan pekerjaan pada hal ini (nilai tambah atau upah kerja). Peraturan dapat mengarahkan air dari perawatan tanaman, air yang secara pribadi diangkut dan disimpan, dan beebrapa fungsi air yang dapat menyokong kerja, infrastrktur, dan pengetahuan.
Permukaan air seperti danau, aliran air, sumber dapat ditempatkan pada lahan pribadi yang dianggap dapat menyimpan barang umum. Air ini bukan kemudian menjadi milik pribadi dalam kepemilikannya, akan tetapi menjadi menjadi barang umum yang dapat digunakan oleh orang lain. Singkatnya, pengguna yang lain dapat memanfaatkan air untuk kebutuhan minum dan kebutuhan dasar, akan tetapi mereka tidak dapat air ini untuk keperluan pertanian dan industri tanpa seizin dari pemiliknya. Bagaimanapun Shafii berpendapat siap yang menggali sumber air maka dia memiliki air tersebut, yang kemudian dapat dikategorikan sebagai barang pribadi.
Air di sungai, danau, gletser, aquifer, dan laut yang berasal dari salaju dan hujan merupakan barang umum. Semua berhak menggunakannya untuk keperluan manum, pertanian, industri selama tidak mengganggu kesejahteraan umum. Air ini dapat dialirkan melalui pipa, kanal, dan kontainer untuk penggunaan pribadi. Pemerintah tidak seharusnya melarang penggunaan ini, tanpa hal ini daapatkan dibuktikan bahwa penggunaan air yang terbatas akan membahayakan kesejahteraan umum, lingkungan, kelebihan pemakaian, dan perdagangan yang tidak adil. Air yang masuk dalam kategori ini tidak dapat dijual atau dibeli untuk keuntungan pribadi ((zouhaili 1992). Akan tetapi, jika nilainya telah ditambahkan, seperti untuk perawatan, gudang, dan transportasi, maka air telah menjadi milik pribadi, dan air ini dapat dijual untuk menutup biaya dengan keuntungan yang wajar.
Meskipun hukum Islam tidak memiliki penjelasan spesifik dari peraturan statis tentang harga dan kontrol pasar, Islam telah menetapkan aturan umum untuk menentukan harga dan komoditas perdagangan seperti air. Dasar ini dapat diperhitungkan sebagai berikut (Sabeq 1981; zouhaili 1992).
1. Pada Al-Qur’an, sabda Rasul, sarjana Muslim menyatakan air merupakan komoditas yang gratis, hal ini mengindikasikan bahwa Allah akan memberikan pahala kepada orang yang melakukan hal demikian. Akan tetapi, mereka mengindikasikan bahwa pemilik pribadi air tidaklah harus menyediakan air dengan cara digratiskan kecuali dalam kondisi terdesak. Dimana kondisi sumber mata air lain tidak tersedia. Hal yang tepat untuk kondisi ini, pemilik haruslah secara adil memperdagangkan air.
2. Air milik pribadi dan milik pribadi tertentu dapat diperjualbelikan seperti barang lain.
3. Air milik umum tidak dapat diperdagangkan
4. Pasar yang menentukan harga
Kebanyakan dari sarjana menyetujui bahwa pemerintah harus melakukan intervensi dalam menetapkan harga ketika pedagang menyelenggarakan transaksi yang membahayakan pasar atau kesejahteraan publik (sabeq 1981). Sarjana muslim juga harus mempertimbangkan antara keuntungan pedagang dan konsumen, dan dalam hal ini keuntungan konsumen harus mendapatkan prioritas yang utama. Sarjana menyetujui bahwa Islam melarang spekulasi dan manipulasi pada pasar untuk menaikkan harga guna meningkatkan keuntungan. Telh dikabarkan bahwa Rasul bersabda, “barang siapa yang telah memanipulasi harga, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke dalam api neraka.”8

C. Implementasi Manajemen Permintaan Air Malalui Harga
Islam mendukung perdagangan bebas yang berdasarkan kemudahan, keadilan, dan keadilan sosial. Untuk itu implementasi harga air pada masyarakat muslim tidak berbeda dengan yang lain. Bhattia et al. (1995) mendefinisikan manajemen permintaan sebagai sebuah ukuran yang diciptakan untuk mengurangi volume air bersih tanpa mengurangi kepuasan konsumen, output, atau keduanya. Seperti anggapan yang menyokong, termasuk penciptaan insentidf pada pasar dan non-pasar dan pembangunan yang berfokus pada lembaga.

D. Insentif Pasar
Tujuan dari kebijakan pasar adalah untuk meluruskan kepemilikan publik dengan modal masyarakat, jadi mengurangi kebutuhan untuk koordinasi dan kontrol yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga merupakan kebanyakan insentif pasar langsung sebab pengguna mengubah perilaku pasar mereka berdasarkan biaya pribadi mereka. Permasalahan harga pada negara-negara berkembang sebagai berikut; elastisitas harga secara konsisten menemukan kondisi negatif dan signifikan, berubah-ubah antara -0:3 dan 0:7, dan rata-rata -0:45. hal ini berarti bahwa semua hal lain akan seimbang, 10 persen meningkatnya harga air akan memicu pengurangan 4.5 persen kebutuhan. Berdasarkan fakta ini, masih terdapt konsep yang salah pada beberapa negara yang menyatakan bahwa harga air tidak memiliki peranan penting dalam menentukan permintaan air, sebab konstitusi tagihan hanya berupa pecahan kecil dari total pengeluaran rumah tangga dan biaya produksi industri total (Cestti et al.1996).
Ironisnya, peningkatan harga pada air pipa dapat merugikan orang miskin, siapa yang yang dapat membayar tinggi pada vedor, akan dihubungkan dengan sistem air yang terdapat di kota. Biaya dari prioyek penawaran air selanjutnya menjadi dua sampai dengan tiga kali lipat dari proyek yang sedang dilangsungkan saat ini. Sebab harga telah bertambah, pergerakan dari harga biaya penuh akan meningkatkan harga air dalam enam sampai tujuh kali (Bronsro 1998). Bagaimanapun, hal ini akanmenyisakan ruang tambahan jika orang miskin membayar lima sampai sepuluh kali dari harga air rata-rata (Arlosoroff 1993)
Katalisator langsung pasar dasar yang lain menantumkan insentif pajak untuk investasi teknologi penyimpanan air pada industri, rabat untuk pengadaan penggunaan air yang sidkit di rumah, seperti pinjaman, diskon, bantuan teknis. Akhirnya, metode pasar dasar menandai biaya kesempatan air dari penggunaan pelelangan air, pasar air, dan hak air yang dapat diperdagangkan. Seperti pada tahun 1995, Chile merupakan satu-satunya negara berkembang dengan sebuah setting peraturan yang komprehensif untuk menandai perdagangan air (Bhatia et al. 1995). Bagaimanapun pendekatan pasar tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengontrolan, sebab air merupaak komoditas esensial dan orang miskin menjamin akses unhtuk kebutuhan dasar. Persoalan ini tidak dibahas di sini dan menjadi sebuah subjek investigasi selanjutnya.

E. Fokus Kelembagaan
Budaya kelembagaan dapat berada pada kondisi positif maupun negatif, membolehkan atau menghalangi. Sebagaimana ditunjukkan pada sesi sebelumnya, permasalahan pada masyarakat Muslim bukanlah kurangnya budaya yang baik pada manajemen permintaan air, tugas terberatnya adalah untuk mengimplementasikannya. Hal ini merupakan topik penting yang memerlukan studi lanjut.
Berkenaan dengan institusi yang menerapkan penerimaan evolusi alam pada perubahan kelembagaannya, dan menerima bingkai waktu yang lebih lama dibandingkan lembaga keuangan yang telah dijadikan mitra dalam kontrak perjanjian. Tekanan reformasi lembaga bukanlah hal baru dalam medan pembangunan air, Bank Dunia telah mencanangkan reformasi lokal dan kapasitas pembangunan selama tiga puluh tahun ke depan. Bagaimanpun, pendekatan tradisional memiliki karakter yang tidak sabar atau sesuai dengan pendapat Thomas Callaghy (1994), dalam analisis hurry. Juga cenderung untuk membawa institusi dalam memberikan dan menetapkan kewajiban dan jaminan atas hak. Penambahan elemen lembaga berdasarkan pandangan ekonomi tradisional dapat menetapkan masalah dengan menggabungkan teori dengan sejarah ekonomi, sebagaimaan yang telah dijelaskan Myrdal (1978) dan yang lain. Callaghy (1994) menetapkan bahwa bantuan agen harus menerima bahwa perubahan pada negara berkembang terjadi secara lambat dan tidak menentu, serta tidak tergantung faktor kompleks. Kerja berat untuk implementasi ini masih akan direalisasikan. Harga air yang sukses sebagai insiatif manajemen permintaan air akan bergantung pada promosi “apresiasi budaya baru bahwa air merupaakn sumber terbatas yang harus dibayar oleh setiap orang” (NRC 1995).
Meskipun Islam meletakkan aturan petunjuk dan dasar-dasar perdagangan dan manajemen efktif untuk sumber air, beberapa negara Muslim mengalami kesalahan pasar yang menjadi penghambat ide baru, kurangnya fokus kelembagaan, dan praktik distribusi air yang tidak adil. Implementasi prinsip Islam berjalan melalui langkah dan proses perubahan.

Catatan :
1 2:245.
2 Al-Muwatta 36.27.
3 Abu-Dawood 3444.
4 59:28.
5 Abu-Dawood 3470.
6 Ahmad 524, in Hadith Encyclopedia.
7 Al-Bukhari 2.549.
8 Ahmad 19426, in Hadith Encyclopedia.


















Daftar Pustaka

Arlosoroff, S. (1993), "Water Demand Management in Global Context: A Review from the World Bank," in D. Shrubsole and D. Tate (eds.), Every Drop Counts: Proceedings of Canada's First National Conference and Trade Show on Water Conservation, Winnipeg, Manitoba, Canadian Water Resources Association, Cambridge, Ont.
Bahl, R. W. and Linn, J. F. (1992), Urban Public Finance in Developing Countries, Oxford University Press, New York.
Bhattia, R. and Falkenmark, M. (1993), Water Resources Policies and the Urban Poor: Innovative Approaches and Policy Imperatives, World Bank, Washington, D.C.
Bhattia, R., Cestti, R., and Winpenny, J. (1995), Water Conservation and Reallocation: Best Practice Cases in Improving Economic Efficiency and Environmental Quality, World Bank, Washington, D.C.
Bronsro, A. (1998), "Pricing Urban Water As a Scarce Resource: Lessons from Cities around the World," in Proceedings of the CWRA Annual Conference, Victoria, B.C., Canada, Canadian Water Resources Association, Cambridge, Ont.
Callaghy, T. M. (1994), "State, Choice and Context: Comparative Reflections on Reform and Intractability," in D. E. Apter and C. C. Rosberg (eds.), Political Development and the New Realism in Sub-Saharan Africa, University of Virginia Press, Charlottesville.
Cestti, R., Guillermo, Y., and Augusta, D. (1996), Managing Water Demand by Urban Water Utilities, World Bank, Washington, D.C.
Crane, R. (1994), "Water Markets, Market Reform and the Urban Poor: Results from Jakarta, Indonesia," World Development 22 (1), pp. 71–83.
Hyden, G. (1983), No Shortcuts to Progress, University of California Press, Berkeley.
Lovei, L. and Whittington, D. (1993), "Rent Extracting Behavior by Multiple Agents in the Provision of Municipal Water Supply: A Study of Jakarta, Indonesia," Water Resources Research 29 (7), pp. 1965–74.
Myrdal, G. (1978), "Institutional economics," Journal of Economics Issues 21, pp. 1001–38.
NRC (National Research Council) (1995), Mexico's City Water Supply: The Outlook for Sustainability, National Academy Press, Washington, D.C.
Panayotou, T. (1993), Green Markets: The Economics of Sustainable Development, ICS Press, San Francisco.
Sabeq, S. (1981), Fiqh essounna [Understanding the Prophet's tradition] (3d ed.), Dar El-Fiqr, Beirut.
Serage El-Din, I. (1994), Water Supply, Sanitation, and Environmental Sustainability: The Financing Challenge, World Bank, Washington, D.C.
World Bank (1992), World Development Report, 1992: Development and the Environment, World Bank, Washington, D.C.
——— (1993), Water Resources Management, Policy Paper, World Bank, Washington, D.C.
Zouhaili, O. (1992), Al-Fiqh wa-dalalatuh [Islamic jurisprudence and its proof], Dar El-Machariq, Damascus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar